D
I
S
U
S
U
N
O L E H :
KELOMPOK 2
ANGGOTA : CUT
ZALIKHA
:
HANDIYANI
:
HENDRA YANI
:
ISWANDI
:
MUHAMMAD DASTUR
UNIVERSITAS ALMUSLIM
FAKULTAS ILMUSOSIAL DAN POLITIK
KAB. BIREUEN
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Segala puja
dan puji syukur kami panjatkan kepada allah SWT, tuhan yang maha esa, dzat yang
memiliki segala keagungan,kemuliaan, dan kesempurnaan. Dialah sang pencipta dan
penguasa tunggal alam semesta beserta isinya. Berkat hidayah, taufiq, dan
rahmat karunianya tugas ini dapat selesai.
Alhamdulillah, akhirnya tugas makalah “Faktor-faktor
Yang Melatarbelakangi Munculnya Ilmu Tasawuf” ini dapat diselesai kan dengan segala keterbatasan.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat dan berkenan di hati bapak dosen pembimbing
mata kuliah manajemen sumber daya manusia. serta dapat menambah pengetahuan
kami sebagai mahasiswa Adm. Bisnis semester II unit A, akhirnya betapapun kami berusaha
seteliti dan secermat mungkin dalam mengerjakan makalah ini sebagai manusia
biasa tidaklah luput dari salah, untuk itu kami nantikan koreksi dan kritik
serta petunjuk dari dosen pengasuh Faktor-faktor Yang
Melatarbelakangi Munculnya Ilmu Tasawuf dan teman-teman seunit agar kami bisa lebih baik di
kemudian hari, atas segala kekurangan, kami mohon maaf karena sesungguhnya
kesempurnaan hanya milik Allah dan segala kesalahan dan kekurangan datang dari
manusia.
Wassalamualaikum wr.wb
Matangglumpang Dua, 9 Mei 2013.
Penyusun
KELOMPOK 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA........................................................................ 3
PEMBAGIAN TASAWUF DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA........................................................................................... 5
MAQAMAT dan AHWAL................................................................................................ 9
AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL,
TOKOH, DAN FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA........................................................................................... 13
AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT,
TOKOH, DAN FAKTOR
YANG MELATARBELAKANGINYA................................................................................. 15
ANTARA TASAWUF
DAN TAREKAT.............................................................................. 15
TASAWUF DI INDONESIA............................................................................................. 16
TASAWUF DI DUNIA MODERN..................................................................................... 16
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN.............................................................................................................. 16
SARAN........................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawwuf adalah merupakan salah satu khazanah
intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, secara
historis dengan teologis akhlak tasawwuf tampil mengawal dan memandu perjalanan
hidup umar agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama
kerasulan Muhammad SAW. Adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan
sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara
lain karena dukungan akhlaknya yang prima.
Khazanah pemikiran dan pandangan di bidang akhlak da
tasawwuf itu kemudian menemukan momentum pengembangan dalam sejarah, antara
lain ditandai oleh munculnya sejumlah besar ulama tasawwuf dan ulama di bidang
akhlak.
Bersamaan dengan itu perkembangan teknologi di bidang
alat-alat anti hamil, makanan minuman, dan obat-obatan telah membuka peluang
terciptanya kesempatan untuk membuat produk alat-alat, makanan, minuman dan
obat-obatan terlarang yang menghancurkan masa depan generasi muda.
Tempat-tempat beredarnya obat terlarang semakin canggih. Demikian juga sarana
yang membawa orang lupa pada tuhan, dan cenderung maksiat terbuka lebar di
mana-mana. Semua in semakin menambah beban tugas tasawuf.
Melihat demikian pentingnya tasawwuf dalam kehidupan
ini tidaklah mengherankan jika akhlak tasawwuf ditentukan sebagai mata kuliah
yang wajib diikuti oleh kita semua dikarenakan pentingnya tersebut.
Disadari bahwa masih banyak bidang tasawwuf yang dapat
dikemukakan, namun keterbatasan ilmu yang kami miliki kami mohon maaf jika
mempunyai kesalahan dalam pengumpulan data yang kami kumpulkan ini.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana untuk memahami tujuan
tasawwuf?
- Apa saja faidah dari mempelajari
tasawwuf ?
BAB II
PEMBAHASAN
E. Pengertian Tasawwuf
Tasawwuf adalah bersungguh-sungguh (dalam berbuat
baik) dan meninggalkan sifat-sifat tercela (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman
7).
Aslinya Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun
beribadah, berhubungan langsung kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan
hiasan duniawi, Zuhud (tidak suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang
diburu banyak orang, dan menyendiri dari makhluk di dalam kholwat untuk
beribadah (Lihat kitab Zhuhrul Islam IV-Halaman 151).
Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed :
yaitu bahwa kebenaran mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut
menghidupkanmu dengan kebenaran tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu
bersama ALLAH tanpa ketergantungan. Dan dikatakan : Masuk pada segala ciptaan
yang mulya dan keluar dari segala ciptaan yang hina. Dan dikatakan : Yaitu
akhlak mulia yang tampak pada zaman yang mulia beserta kaum yang mulia. Dan
dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki
kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu dibangun atas 3 macam :
a. Berpegang dengan kefakiran dan
menjadi fakir
b. kenyataan berkorban dan mementingkan
orang lain
c. Meninggalkan mengatur dan memilih
Menurut Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada
apa yang hakiki dan menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan
manusia.
Peranan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah
maupun kepada sesama makhluk.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi
terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama
syari’ah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan,
sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana Allah…ana al-Haqq (aku adalah
Allah….aku adalah yang maha benar).
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah
dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana
untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
.
G. Tujuan Mempelajari Tasawwuf
Tujuannya adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara
mutlak dan lebih jelas). Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan
diri dan taqarrub kepada Allah. Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa
yang telah secara jelas diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah,
pemahaman atau pun tata cara yang dilakukan.
Melihat dari situ kita dapat untuk bisa memahami
betapa pentingnya mengenal Allah secara lebih dalam dan memahaminya dengan
benar. Sama juga dengan kebersihan diri dan taqarrub, tapi kita tak boleh
melanggar apapun yang telah al-qur`an berikan.
H. Faedah Dari Mempelajari Tasawwuf
Saat kita telah memahami tassawwuf itu kita mulai
dapat membedakan mana yang baik dan tidak, Bagi tasawwuf mendidik hati dan
ma’rifah Allah Yang Maha Mengetahui, sepertimana kata Ibn `Ajibah: Buah
hasilnya ialah kelapangan (mulia) nafsu, selamat dada dan akhlak yang mulia
bersama setiap makhluk.
Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai
kepada ma’rifat akan terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk
keselamatan di akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan
kebahagiaan abadi.
SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA
Sebagai sejarahwan mengaitkan sejarah tashawuf dengan
Imam Ja’far Al-Shadiq ibn Muhammad Bagir ibn Ali’ Zainal Abidin ibn Husain ibn
Ali Ibn Abi Thalib. Imam Ja’far, meski amat dihormati dan dianggap sebagai guru
keempat-empat para imam kaum Ahlusunnah-yakni Imam Abu Hanifah, Maliki; Syafi’i
dan ibn Hanbal-adalah imam kelima dari mazhab syi’ah Itsna Asyariah.
Kenyataannya, meski tak banyak Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Syafi’i
kemungkinan akibat kritik-kritik keras yang ditujukan kepadanya oleh
kecenderungan untuk membela ahlul bait (keluarga Nabi) ujar-ujar Imam Ja’far
banyak disebutkan oleh para sufi, seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al-Mishri,
Jabir bin Hayyan, dan Al-Hajj.
Dalam sejarah pemikiran dan praktik Islam, tasawuf
mengalami pasang surut. Lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad
ke-2 H. lewat pribadi-pribadi seperti Hasan Al-Bashri, Sufyan al-Tsauri
al-Harits ibn Asad Al Muhasibi, B Yazid Al Bustami dan sebagainya. Tasawuf tak
pernah bebas dari kritikan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di
dunia Islam dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahap[1][6];.
1.
Tahap Zuhud
(Asketisme)
- Tahap awal perkembangan tasawuf ini menentang mulai akhir abad ke-1 H
sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud ini pertama kali muncul di
Madinah, Kufah dan Bashrah, kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir.
- Berikut ini adalah tokoh-tokoh menurut tempat-tempat perkembangannya:
- Para Zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu
Ubaidah al-Jarrah (w.18 H) Abu Dzar Al Ghifari (w.22 H) Salmah Al-Farisi
(w.32 H). Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H). Sedangkan dari kalangan satu
generasi setelah masa Nabi (tabi’in) termasuk diantaranya adalah Said ibn
Musayyab (w. 91 H) dan Salim Ibn Abdullah (w.106 H).
2.
Tahap Tasawuf
(Abad III dan IV H)
- Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai digantikan
oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada aspek
praktis (amali) berupa penanaman akhlak belaka. Para sufi dalam tahap ini
mulai masuk ke aspek teoretis (nazhari) dengan jalan memperkenalkan
konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal ha;
maqam, hal ma’rifah, tauhid (dalam maknanya yang khas tasawuf), fana,
hulul, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H),
Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H) Dzul Nun Al Mishri (w. 245 H) dan Junaid
Al-Baghdadi.
3.
Tahap Tasawuf
Falsafi (Abad VI H)
- Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan
mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi adalah tokoh
utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagai ahli
memasukkan al-Hajjaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami juga ke dalam kelompok
ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan (Gnostisisme) karena
orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan
hakikat segala sesuatu.
4.
Tahap Tarekat
(Abad VII H dan seterusnya)
- Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya seperti
Tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w.
298 H), baru pada masa-masa inilah tarekat berkembang dengan pesat.
Termasuk diantaranya; tarekat Qadariyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al
Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang). Tarekat
Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan Tarekat Suhrawardiyyah
yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawadi (w. 563 H). Namun dari semua
tarekat yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah tasawuf, yang
memiliki pengikut paling luas adalah tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat yang
sekarang telah memiliki banyak variasi ini pada mulanya didirkan di
Bukhara, Asia Tengah oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al Uwaisi Al
Bukhari Naqsyabandi.
PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA
A. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada
teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya
untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf
seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.[2][7]
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk
merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya
dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan
tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang
cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke
titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena
itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun
sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh
seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak
tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak
jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela.
Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun
internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang
bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam
adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah
dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya
adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur
ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah
terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan
perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan
perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum
dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepada-Nya.[3][8]
B. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada
gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik
metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat
dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya
selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai
filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada
rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat
dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan
oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap
ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan
argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.[4][9]
C. Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh
tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan
“kedekatan” atau “jarak” ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf syi’i
beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena kesamaan
esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya. Menurut ibnu
Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi
dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan
iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.[5][10]
D. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi,
Falsafi, Syi’i
Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari
pemahaman tentang makna-makna intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman sahabat dan
tabi’in kecenderungan orang terhadap ajaran Islm secara lebih analistis sudah
muncul. Ajaran Islam dipandanga dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah
(seremonial) dan aspek batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”.
Pendalaman dan aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama,
namun tanpa mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk membersihkan
jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu
cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami
beberapa fase: pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada
abad pertama dan kedua hijriah. Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang
sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat individu-individu
dari kalangan-kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka
menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak mementingkan makanan,
pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang
berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan
diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat
populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan
Rabiah Al-Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid.
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh
perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku.
Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya
menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu.
Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan
atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya,
mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan
tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan
oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan landasan- landasan
atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak
ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas
pengamalan Islam dalam praktek yang lebih menekankan perilaku manusia yang
terpuji.
Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf
dengan menampilakan akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami
kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai benyak mengandung muatan
anjuran untuk untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah
kehidupan lahiriah yang sangat formal namun tidak diterima sepenuhnya oleh
mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan ajaran Islam hingga aspek
terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksiakn ketidakberesan perilaku
(akhlak) di sekitarnya. Mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa itu
tasawuf identik dengan akhlak.
Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu
abad, kemudian pada abad ketiga hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang lebih
menonjol pemikiran ekslusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang
kemudian dihukum mati karena manyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada
309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu karena paham
hululnya ketika itu sangat kontrofersial dengan kenyataan di masyarakat
yang tengah mengarungi jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj
dianggap membahayan pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis
ini terpengaruh unsur-unsur di luar Islam.
Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali,
yang sepenuhnya hanya menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta
bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu
mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof,
kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan
prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah
waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid
Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh
keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin
meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi
munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk
mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun
570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).
Sejak abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh
tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang
bersifat setengah-setengah. Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi
juga juga tidak dapat disebut murni filsafat. Di antara mereka terdapat
Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H) penyusun kitab Hikmah
Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun 638 H),
penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in
Al-Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang lainnya yang
sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing, seperti
filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun banyak mempunyai teori
mendalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik
ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi
mutakhir.
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai
membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf akhlaqi.
Kemudian, tasawuf akhlaqi ini didentik dengan tasawuf sunni. Hanya
saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang
dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan Al-Quran dan
As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih
berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran
yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan
ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya.
Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan yang fana menuju
pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Tasawuf akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan
Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya, diwakili para tokoh sufi dari abad
ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para pemimpin thariqat yang
memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para sufi yang
juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat
pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang
paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu
Taimiah (wafat pada tahun 728 H).
Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus
tumbuh dan berkembang. Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai
tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang
juga filosof pada abad keenam hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua
ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi ahlu sunnah wal
jama’ah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu
sunnah wal jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami,
Al-Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk
kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang mulai
timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh
kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H) dalam menggagas pemikiran
Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.
Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung
mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya pada landasan Al-Quraan
dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling
menonjol pada abad ini yang member bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah
Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas bagaiman Al-Qusyairi
mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu sunnah. Dalam
penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka
terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum
salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara
implisi menolak para sufi yang mengajarakan syahadat, yang mengucapkan
ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan,
terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnay sifat
baru-Nya.
MAQAMAT dan AHWAL
A. Pengertian Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk
dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa
tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan
tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan
pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat
dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu
berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang
lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara
terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat
bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang
harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung
perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi.
Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari
pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain
secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah
tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai)
kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan
ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378
H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh
melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan
mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
B. Maqamat
Sebagaimana telah disebutkan diatas
tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut
masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh
maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam
berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala
ikatan dunia. Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai
berikut[6][11]:
1. Taubat
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan
dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti
“kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari
perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi
dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara
seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah
Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada
sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa
dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak
melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan
lupa pada segala hal kecuali Allah
2.
Wara’
Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri
hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat).
Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر
النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد الله بن سماعة عن
الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu
yang tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan
segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran,
perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik
hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya,
berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3.
Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai
literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang
dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya.
Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam
al-Gazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh
kesadaran”, adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari
kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan
dasar bagi keadaan yang diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan
langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal
kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan dengan
asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr. Menurut Abu Bakr
Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti
ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau
kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk
kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan
kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk
meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.
4. Faqr
Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah.
Sikap faqr sangat erat hubungannya dengan sikap zuhud. Orang yang faqr bukan
berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan
dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang
yang bersikap faqr berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan
kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam
Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang mengatakan “Faqir
bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya
hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri
faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari
kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5.
Sabr
Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam
Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu
menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Sabar menurut
terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa
kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf
sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah
dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi
segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu
seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah
sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan
susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan
diri terhadap apa yang menimpanya.
6.
Tawakkal
Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam
tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar
tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain
Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia
tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat
fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh
Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan
Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta
lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
7.
Ridha
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha
secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai
konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah
ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan
menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah
disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna ridha, diantaranya pendapat
Ruwaim yang mengatakan bahwa: الرضا: أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن
يحولها إلى يساره. , sedang Abu Bakar Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية
من القلب، حتى لا يكون فيه إلا فرح وسرور. . Menurut Imam al-Gazali ridha
merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha berarti sebuah
sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah
kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap
ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
C. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya
diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di
sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat
yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain,
seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia
akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat
dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan
karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga
terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta
jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah,
khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.[7][12]
1. Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau
mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap
mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu
berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian
tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan
mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba
bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
2. Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut
terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah
karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai
Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai
perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan
adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
3. Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’
sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan
menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq
menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang
takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal
mereka.
4. Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta.
Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga
pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai
mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni.
Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu
harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah.
5. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi
kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan
maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya,
hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang
dariNya tanpa usaha.
6. Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram.
Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan
dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling
tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat
imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal
ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
7. Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah
berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan
melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi
dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah
dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak
pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah.
8. Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang
luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga
tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam
pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak
berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah
fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan
bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwa.l
AJARAN TASAWUF PADA MASA
AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA[8][13]
Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai
dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang
dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim
al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain
menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3
hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini
mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang
tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah)
dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil
kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam
perkembangan tasawuf di dunia Islam
(Al Taftazani, 1979: 72). Beberapa tokoh lainnya yang muncul
pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al- Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun
al-Hasri (w. 245 H).
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke
penjuru dunia Islam pada abad ke-4 H dengan
sistem ajaran yang semakin mapan.
Belakangan, al- Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta
kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di
samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah
konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi
dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang
dikembangkan-nya dipandang oleh para
fuqaha’ sebagai kafir, zindiq
dan menyelisihi aturan aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada
abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi
masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan
tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan
dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan
tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis atau yang
disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki
merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan
al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara
ahwal dan maqamat.
Sedangkan tasawuf
teoritis atau juga disebut
tasawuf falsafi13 cenderung
menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan
memadukan antara filsafat dengan ketasawufan
(Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela
tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w.
298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab
al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang
sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi
adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj
(309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul
(587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi14.
Secara mendasar kemunculan pemikiran
tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan
hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20).
Tetapi secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada
tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan
terhadap kehidupan urban dan kemewahan; (2)
masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung
corak kehidupan pertapaan daripada aktif
di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang
juga memberi penghormatan pada sikap anti- dunia dan sarat dengan kehidupan
asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral;
(2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3) bahasan tentang
sistem pengenalan dan hubungan kedekatan
antara Tuhan dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini
dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog
dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR
YANG MELATARBELAKANGINYA
Dari segi sejarah, sufisme
sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat:
(1) sufisme sebagai semangat atau jiwa
yang hidup dalam dinamika masyarakat
muslim; (2) sufisme yang tampak melekat
bersama masyarakat melalui bentuk- bentuk kelembagaan
termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak
semata-mata berimplikasi pada persebaran
syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran
yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana
kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut
muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari,
Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari
perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi sosial yang parah
mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal yang mampu
memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan
ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka (Effendi, 1993: 34). Secara
garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga tahapan
berikut: (1) khanaqah, yakni terbentuknya
komunitas syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk
melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan yang
bercorak aristokratis ini berkembang sekitar
abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni
perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya
dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode
ketasawufan mulai terbentuk mapan; (3) taifa, yakni
masa persebaran ajaran dan pengikut dari
suatu tarekat yang melestarikan ajaran syaikh tertentu
(Effendi, 1993: 67).
Tarekat adalah lembaga tempat
berhimpunnya orang-orang yang melalui ikatan
hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin
spiritual tertentu untuk menemukan
kejernihan jiwa dan hati.
Varian tarekat dapat disejajarkan
sebagai mazhab dalam bidang tasawuf
sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi dalam bidang
pemikiran kalam dan fikih.
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat.
Pertama, mereka adalah kelompok spiritual dalam umat
Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok lainnya yang
disebut kelompok formal dan kelompok Intelektual.
Kelompok intelektual ini terdiri dari ulama-ulama
mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok grave
terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan fuqaha. Kedua,
bahwa tasawuf itu hanyalah suatu kecenderungan
spiritual yang membentuk etika moral dan lingkungan
sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan seorang
muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu pula seorang
mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran Tasawuf pada
dasarnya merupakan bagian dari
prinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak
ubahnya merupakan upaya mendidik diri dan keluarga
untuk hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran
agama dalam kehidupannya
sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan,
pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan beribadah,
konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk
mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan
diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga
tidak diperbudak harta atau tahta,
atau kesenangan duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara
umum terjadi pada kalangan kaum muslim
angkatan pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya,
secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah
angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih
dikenal sebagai kaum sufiyah.
Keadaan tersebut berkelanjutan
hingga mencapai puncak perkembangannya pada
akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran
yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola
kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra
“cerita seribu satu malam” di masa kejayaan
kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami
perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja,
tapi mulai ditandai juga dengan
berkembangnya suatu cara penjelasan
teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu
Tasawuf.
Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa
terma yang dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keIslaman. Upaya penalaran
para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkan prinsip-prinsip
ajaran Islam mengenai penataan kehidupan pribadi dan
masyarakat yang sudah berkembang selama tiga abad dengan munculnya disiplin
ilmu Tasawuf terjadilah
pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran ulama
muhaddits dan fuqaha yang disebut syari’ah, dan produk penalaran ulama tasawuf
yang disebut haqiqah. Selanjutnya para fuqaha joke disebut
ahli syari’ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.
TASAWUF DI INDONESIA
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf
lewat lembaga keagamaan non-formal yang namanya
“tarekat” asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai
Tarekat Qadiriyah yang
cukup dikenal, disamping Tarekat
Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu
dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah
lebih maju dalam perkembangan
tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi
antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang
dikenal dengan nama Jam’iyah Ahl al-Thariqah al-Mu’tabarah.
Pada tahun lima puluhan, pemerintah Mesir
menempatkan pembinaan dan koordinasi
tarekat-terekat tersebut di bawah
Departemen Bimbingan Nasional (Wizarah al-Irsyad
al-Qaumi). Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan
penganut-penganut tarekat itu merupakan bagian dari
potensi bangsa/umat, yang berhak mendapatkan
perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.
Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu,
ada baiknya kita mempertanyakan kapankah
munculnya tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam
sejarah perkembangan gerakan tasawuf Dr. Kamil Musthafa
al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi’ah mengungkapkan,
tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah
(tarekat) itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561
H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke
seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan
luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa.
Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah
yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa’i. Dan tempat ketiga
diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672
H/1273 M). Beliau membuat tradisi baru dengan
menggunakan alat-alat musik sebagai sarana dzikir.
Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.
Dalam periode berikutnya muncul tarekat
al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan
dunia Islam bagian Timur pada umumnya. Yang juga perlu
dicatat di sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang
mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer.
Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad
al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang
satu kekuatan perlawanan rakyat yang mampu
memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris secara
berturut-turut, dan akhirnya membebaskan wilayah
Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang dibentuk
Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai Mu’ammar
al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa sampai saat
ini sebagai Kepala Negara tersebut.
TASAWUF DI DUNIA MODERN
tasawuf itu ke dalam
dua sisi, yaitu : tasawuf sisi negatif dan positif3, agar umat Islam tidak
mengikuti gaya tasawuf para shufi yang dalam pengertiannya harus meninggalkan
kehidupan dunia. Menurut Hamka itu semua tidak sesuai dengan harapan Islam yang
harus seimbang antara dunia dan akhirat. Dan itu tidak sesuai dengan
perkembangan zaman yang menuntut umat Islam berusaha sekuat tenaga dan
pikirannya untuk dunia sejauh tidak lebih mementingkan dunia di banding
akhirat. Dari itulah timbul pemmikiran Hamka yang
sangat relevan dengan zaman modern ini. Untuk mendefinisikan tasawuf dengan
memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (membersihkan) batin. meninjau kata
Al-Junaid yaitu “Tasawuf adalah keluar dari budi perangai jelek dan masuk
kepada budi perangai yang terpuji” 4. Dengan
adanya tawaran seperti itu maka jelaslah pemikiran Hamka cocok sekali dengan
zaman modern ini, karena beliau tidak menyuruh untuk meninggalkan kehidupan
dunia. Bahkan Hamka menyuruh untuk kembali kepada tasawuf yang di ajarkan
Rasulullah yaitu “memegang sikap hidup yang hati tidak berhasil di kuasai oleh
hidup keduniaan” 5
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
♦ Memiliki tujuannya Ma’rifatullah (mengenal
ALLAH secara mutlak dan lebih jelas). Dan Tasawwuf memiliki tujuan yang baik
yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah.
♦ Memiliki Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan
terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di
akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan
B. SARAN
→ Agar mempunyai tujuannya Ma’rifatullah (mengenal
ALLAH secara mutlak dan lebih jelas).
→ Agar Memiliki Faedah tasawwuf untuk membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan
terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di
akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, R.
(2004). Ilmu Tasawuf. Jakarta: TERAJU Mizan Publika.
Dialog
Tentang ajaran Torekat Qodiriyah-Naqsyabandiyah.
Hussein, N.
(1994). Tasawuf Dulu dan Sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Suwirta, A.
(2002). Tasawuf dan Proses Islamisasi di Indonesia. Bandung: Historia Utama
Press.
Dharwanto.
(2009). Perkembangan Tarekat di Dunia Islam. [Online]. Tersedia:
http://dharwanto.blogspot.com/2009/10/perkembangan-tarekat.html
Hamka. 1939. Tasawuf Modern.
Medan : Yayasan Nurul Islam.